Intro Hampir seluruh masyarakat dunia mengenal bahwa demokrasi yang dikumandangkan saat ini adalah sebuah sistem kenegaran yang terbaik sehingga apa yang terjadi dan dilakukan oleh rakyat atau siapapun yang mengatasnamakan rakyat adalah hal yang terbaik dan itulah demokrasi Intro Tetapi apakah sistem demokrasi selalu mengutamakan kepentingan rakyat atau malah hanya memperalatnya? Atau bagaimana jika pertanyaan yang kita ajukan adalah apa benar? Demokrasi yang kita anut, yang kita percaya sebagai sistem yang terbaik, paling terbaik untuk kita sekarang, atau memang itu hanya kepalang dan karena itu terus kita banggakan dan pertahankan?
Di video ini, mari kita bahas look-look demokrasi. Sistem politik demokrasi selalu dianggap menjadi sistem superior di mayoritas masyarakat dunia karena dalam sistem demokrasi kekuatan untuk memerintah ada di tangan masyarakat. Selain itu alasan demokrasi menjadi sistem pemerintahan terbaik karena dapat mengakomodasi beragamnya kepentingan dan aspirasi masyarakat dan di sisi lain demokrasi dapat berperan sebagai wadah pengikat kesepakatan nasional yang harus dihormati dan dijaga oleh seluruh masyarakat. Tidak heran, slogan yang dicetuskan Abraham Lincoln tentang demokrasi, yang mengatakan demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat oleh rakyat, dan untuk rakyat, menjadi nyawa dari sistem demokrasi, dan dibanggakan sebagai sistem terbaik umat manusia saat ini. Tetapi, sistem demokrasi memiliki paradoksnya sendiri, yang dalam sekejap membunuh cita-cita dan tujuan dari demokrasi itu sendiri.
Hal yang dapat menunjukkan itu adalah kemenangan Putin, yang baru-baru ini diumumkan. Melalui sistem demokrasi, Putin dapat melanggengkan kekuasanya dan semuanya terlihat seolah-olah legal dan itulah yang diinginkan rakyat. Atau kemenangan Donald Trump di Amerika yang bisa menjadi contoh lain keparadoxan demokrasi. Atau jika mau contoh paling klasik tentang paradox, adalah kemenangan partai Nazi di Jerman pada tahun 1932. Lewat pemiliu yang cukup adil dan terbuka, rakyat Jerman memilih partai yang dipimpin seorang yang kemudian terbukti menjadi penjahat kemanusiaan.
Bayangkan, sebuah negara yang terbukti Cara yang melahirkan puluhan filsuf hebat dan belasan komponis besar bisa menghasilkan manusia begitu keji dan Adolf Hitler terpilih itu karena pemilihan umum yang menjadi bagian dari sistem demokrasi. Pertanyaannya, mengapa itu bisa terjadi? Mengapa demokrasi yang dianggap sistem terbaik dari yang ada, kerap kali terjatuh pada kekeliruan yang sama?
Inilah yang akan coba kita cari penjelasannya. Dan ternyata, faktanya para filsuf sejak lama mencurigai demokrasi. Plato salah satunya.
Menurut Plato, demokrasi bukanlah sebuah kegiatan. bukanlah sistem yang ideal, melainkan sebuah sistem politik yang memberi jalan bagi seorang tiran untuk berkuasa. Argumen Plato sederhana, masyarakat secara alamiah terpolarisasi antara yang kaya dan miskin, yang terdidik dan terbelakang, yang kuat dan lemah.
Dengan demokrasi, orang-orang kaya, pintar, dan kuat akan menggunakan mereka yang miskin, bodoh, dan lemah untuk memobilisasi kekuatan. Selain itu, dalam buku ke-6-nya Plato yang berjudul Republik, dalam konteks penilaian buruk terhadap cara kerja demokrasi di Atena, Socrates membandingkan negara Atena dengan sebuah kapal. Dalam analoginya tersebut diceritakan, bahwa pemilih kapal tersebut bertubuh besar dan kuat.
Namun ia memiliki gangguan pendengaran, rabun jauh, dan tidak pandai dalam menafigasi. Oh kapal terus menerus dalam kekacauan. Mereka dengan cerobohnya menghabiskan sumber daya kapal, sementara tidak setuju satu sama lain tentang siapa yang harus bertanggung jawab di kapal. Dengan masing-masing pelaut percaya, bahwa dialah yang harus menjadi kapten. Meskipun tidak memiliki pengalaman atau pelatihan mengemudikan kapal, menjadi kapten menurut para pelaut tidak memerlukan keahlian khusus.
Dari analogi itu, Socrates ingin berpendapat bahwa dalam demokrasi, kekuasaan cenderung berada di tangan massa yang dia sebut sebagai tirani mayoritas. Kelompok mayoritas mungkin didorong oleh kepentingan dan nafsu mereka sendiri. Dalam hal ini Socrates berargumen bahwa demokrasi, meskipun tampaknya merupakan sistem pemerintahan oleh rakyat, dapat dengan mudah berubah menjadi kepentingan. berubah menjadi tirani mayoritas. Di sini opini, emosi, dan prasangka populer lebih diutamakan daripada akal dan kebijaksanaan.
Socrates menyebut tipe pemimpin politik yang seperti itu sebagai demagog, yaitu pemimpin yang mengandalkan prasangka, janji palsu, dan karisma untuk memanipulasi pemilih agar memilih mereka. Socrates juga khawatir mereka yang mencalonkan diri tidak akan memiliki kebijaksanaan yang dibutuhkan untuk memimpin dan mungkin akan menggunakan jabatan yang mereka pilih. untuk kepentingan pribadi dan bukan kepentingan umum.
Selain itu, dalam analogi perahunya Socrates ingin menunjukkan bahwa memberikan suara dalam pemilu adalah suatu keterampilan, bukan intuisi acak. Dan seperti keterampilan apapun, keterampilan ini perlu diajarkan secara secara sengaja. sistematis kepada orang-orang.
Namun perlu diingat, Socrates bukanlah seorang elitis dalam arti normal. Karena Socrates pun tidak ingin hanya segelintir orang saja yang hanya boleh memilih. Namun Socrates menyarankan bahwa hanya mereka yang telah memikirkan isu-isu tersebut secara rasional dan mendalam yang boleh memberikan suara. Karena dalam bayangannya, membiarkan warga negara memilih tanpa pendidikan sama tidak bertanggung jawabnya. Dengan menugaskan mereka untuk memimpin kapal trirame yang berlayar ke Atlantik di tengah badai.
Dan kehamilan. kekhawatiran Socrates pada demokrasi terbukti pada jalan hidupnya sendiri. Pada tahun 399 sebelum masehi, sang filsuf diadili atas tuduhan palsu merusak pemuda Athena. Juri yang terdiri dari 500 orang Athena diundang untuk mempertimbangkan kasus ini dan memutuskan dengan selisih tipis bahwa Socrates bersalah dan akhirnya harus dihukum mati dengan menggunakan hemlock dalam suatu proses yang, bagi orang-orang yang berpikir, sama tragisnya dengan hukuman Yesus bagi umat Kristiani. Dalam kritiknya pada demokrasi, Plato tidak sendiri.
Beberapa filsuf besar dan kaum tercerahkan di Eropa meragukan demokrasi, Voltaire. Friedrich Nietzsche dan Carl Smith di antaranya. Voltaire menganggap demokrasi sebagai sistem yang hanya memanjakan ego liar manusia.
Bahkan dengan radikalnya, Voltaire percaya bahwa sistem yang ideal adalah monarki konstitusional dan seorang diktator tercerahkan lebih baik ketimbang pemimpin yang dipilih secara demokratis. Bahkan Jason Brinan, pengajar ilmu politik di Universitas Georgetown Amerika, secara tegas mempersalahkan demokrasi atas meningkatnya rasisme, kebencian, serta naiknya figur-figur inkompeten jadi pemimpin. Dalam Dalam bukunya yang berjudul Against Demokrasi, Brinan memberikan beberapa alasan mengapa demokrasi sebetulnya adalah sistem yang buruk. Dan salah satu cacat bawan demokrasi adalah asumsi keliru bahwa hak memilih dianggap sebagai jaminan bagi warga negara untuk kesaraan dan bersamaan dengan itu menolak memberikan hak pilih seorang atau kelompok warga disamakan dengan tindakan mendiskriminasikan mereka.
Alhasil, upaya apa saja yang bermaksud untuk memperbaiki kualitas demokrasi lewat aturan pemilihan akan dianggap sebagai ide subversif. Padahal menurut Brinan, pembatasan pemilihan bagi orang-orang atau kelompok tertentu adalah keharusan untuk memperbagi kualitas hasil pilihan. Jika kita ingin menghasilkan pemimpin yang baik, kita harus memastikan bahwa yang memilih adalah orang-orang yang tepat.
Pemilih yang buruk akan memilih pemimpin yang buruk. Brinan bahkan mengatakan masyarakat yang korup cenderung memilih koruptor. Dan bukankah masyarakat yang keras akan memilih penguasa yang berani bertindak kejam? Dalam hal ini, Brennan tidak jauh berbeda seperti Plato.
Brennan menganggap masyarakat politik dan Brennan menyebutnya sebagai demokrasi citizen, yang berarti atau warga demokratis. tidak akan pernah setara. Karena dalam warga demokratis tersebut, selalu ada beragam kelompok dalam masyarakat dan berinan mengelompokannya dalam tiga kategori.
Pertama, orang-orang yang apatis, apolitis, serta ignoran dalam banyak urusan menyangkut politik. Ketiga, orang-orang yang tidak mengenal Kalaupun mereka tahu tentang politik, pengetahuan mereka sangat minim. Pada kelompok ini Brennan menyebut mereka sebagai hobbit. Yang kedua, orang-orang yang antusias terhadap politik.
Mereka punya informasi tentang politisi maupun partai yang mereka dukung. Mereka ikut kampanye dan menyebarkan atribut partai. Namun kelompok ini cenderung fanatik pada pilihan politiknya dan bersikap antipati pada kelompok lain dan Brennan menyebut kelompok ini sebagai hooligan. Ketiga, kelompok warga yang rasional, cerdas dan mengambil keputusan berdasarkan landasan ini.
ilmiah. Mereka memilih calon pemimpin atau partai politik berdasarkan pertimbangan rasional. Melihat kebijakan mana yang masuk akal dan mana yang tidak. Mereka dengan cepat mengubah pandangan mereka tentang suatu partai jika mereka melihat ada kebijakannya yang irasional.
Pada kelompok ini, Brennan menyebutnya sebagai Vulkan. Dari penelitiannya itu, Brennan menyimpulkan bahwa di Amerika dan di banyak negara, demokrasi selalu diramaikan kaum hobbit atau holigan. Hanya sedikit yang berkarakter Vulkan.
Padahal kualitas demokrasi sangat ditentukan oleh jumlah yang sedikit ini, Brennan menganggap fragmentasi dalam warga demokratis ini sebagai cacat lain dari demokrasi. Alhasil, dengan sistem one man, one vote, atau satu orang, satu suara, yang menjadi nyawa demokrasi dengan... sendirinya, tidak mungkin kualitas dan cita-cita mulia yang ada pada demokrasi akan tercapai. Namun untuk mengatasi kebuntuan, Brennan mengajukan alternatif yang cukup radikal. Brennan menyebutnya sebagai epistokrasi, yang di sistem politik berdasarkan pilihan warga yang yang melek politik.
Maksud dari melek politik di sini adalah mereka yang memiliki pengetahuan tentang isu-isu publik yang menentukan nasib masyarakat, kurang lebih seperti kaum vulkan. Terlepas dari beberapa problem teknis menyangkut konsep itu, misalnya bagaimana mendefinisikan kaum vulkan dan bagaimana cara memilih mereka, kritik berenan terhadap cacat bawaan demokrasi perlu diperhatikan, khususnya dengan semakin banyaknya hasil buruk demokrasi yang kita saksikan. Dan bukankah kita selalu mengeluh tentang anggota DPR yang buruk, kepala daerah yang korup, pemimpin yang intoleran dan birokrasi yang lamban dan memberatkan.
Mengapa demokrasi yang kita jalani berujung pada hasil yang mengecewakan? Sekarang kita tahu bahwa akar masalah ada pada kualitas pemilih. Banyak orang yang buta politik dan tidak tahu apa yang mereka pilih ketika berada di kotak suara. Dan perlu diingat, dalam demokrasi, ketidaktauhan bisa menjadi kutukan.
Sekarang setelah kita uraikan segala paradoks dan cacat bawaan dari sistem demokrasi, kita dapat mengambil suatu posisi yang dikotomis tentang apa yang sebenarnya kita maksud dengan demokrasi dan non-demokrasi. Untuk memahami evolusi konsep demokrasi, kita perlu memahaminya dalam konteks sejarahnya. Konsep demokrasi sebagaimana kita pahami sekarang ini, yaitu yang identik dengan pemilihan umum, hak-hak dan kebebasan dasar atau basic right and liberty seperti kebebasan sipil dan politik, Dan pergantian kekuasaan sesungguhnya merupakan pembacaan yang cukup baru. Pembacaan ini setidaknya mulai populer di tengah abad ke-19 hingga sekarang. Tetapi, demokrasi tidak melulu identik dengan pembacaan tersebut.
Selain itu, demokrasi tidak melulu muncul dalam pergantian di kota. Selalu ada ketegangan antara apa yang kita pahami secara ideal tentang demokrasi dengan apa yang sebenarnya berlaku dengan praktek real demokratis yang justru bertentangan dengan ideal yang ditawarkan. Dalam bentuknya paling awal dalam demokrasi di Athena, Karena misalkan, maka kita akan menemukan fakta bahwa konsep demokrasi pada awalnya selalu berkaitan dengan konflik dan perjuangan kelas.
Dimensi kelas dari konsep demokrasi inilah yang dibahas secara mendetail oleh Aristoteles dalam karya klasiknya, Politics. Dalam bukunya, Aristoteles mendefinisikan demokrasi sebagai kekuasaan politik kelompok miskin. Namun dari kenyataan pratik demokrasi yang ada, di mana kekuasaan justru hanya dipegang oleh kalangan atas yang memiliki properti.
Dengan membingkirkan sama sekali posisi perempuan, dan kalangan budak. Tidak heran apabila berabad-abad sesudahnya, para kritikus demokrasi kerap kali melabeli demokrasi sebagai mobrul atau kekuasaan kerumunan yang kacau. Namun, ketegangan hampir serupa juga berlaku dalam pengalaman modern kita. Demokrasi sebagai suatu sistem politik lebih banyak merupakan pembangunan institusi politik yang mempunyai untuk melindungi kepentingan serta properti elit dari ancaman perampokan penguasa maupun masa. Alexander Hamilton, salah satu pendiri Amerika dan anggota dari kolektif The Federalist.
Di awal berdirinya negara Amerika sudah mewanti-wanti tentang the excess of pure demokrasi atau akibat yang berlebihan dari demokrasi murni dan menganjurkan perlindungan atas hak-hak kelompok minoritas dari tirani mayoritas. Dengan kata lain, faksi-faksi dari kelas yang berkuasa dan mengontrol sumber-sumber perekonomian dari mayoritas rakyat biasa yang tidak berpunya. Dalam konteks yang lebih dekat, bureaucratic authoritarian regimes atau rejim-rejim otoriter birokratik di Amerika Latin dan Asia menganggap demokrasi Demokrasi sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi dan pengganggu stabilitas politik dan keamanan nasional karena demokrasi, memungkinkan mobilisasi dan pengorganisiran politik dari kelas bawah.
Satu hal yang juga diam-diam diamini oleh vaksi konservatif dari lapisan kelas menengah dan orang kaya baru di negara-negara tersebut. Dalam hal ini, demokrasi pelan-pelan berubah makna dan fungsinya sebagai justifikasi atas tatanan politik yang ada. Dengan kata lain, ia berubah menjadi peranata atau tatanan politik kelas yang berkuasa.
contohnya tidak sedikit di Cili Pinocchio mengklaim bahwa kudeta militer yang dilakukannya pada tanggal 11 September tahun 1973 bertujuan mempertahankan nilai-nilai Cili dan akan membawa kembali demokrasi yang sesungguhnya di Filipina demokrasi tertua di Asia para oligarki lokal dan tuan tanah dan pembisnis yang menguasai berhektar-hektar tanah menjadi bos-bos politik lokal membangun dinasti politik sembari menembaki lawan politik dan siapa saja yang mengkritiknya seperti yang terjadi di akhir-akhir ini. Mereka mendominasi politik lokal selama bertahun-tahun dalam kerangka politik elektoral khas demokrasi. Di Thailand, beberapa faksi kelas menengah berpendidikan yang lantang berbicara tentang nilai-nilai demokratik, supremasi hukum, dan anti korupsi.
Namun dekat dengan militer dan kerajaan, kerap kali memicinkan mata melihat mobilisasi orang-orang desa dan melabeli mereka sebagai pendukung vaksin. Bagaimana dengan demokrasi di Indonesia? Tentu sama jahatnya. Hal yang mudah adalah saat kita memiliki kemampuan melihat Papua. Indonesia sangat menginginkan kekayaan alam Papua tapi tidak dengan manusia-manusianya atau yang lebih mudahnya, penguasa di Indonesia tinggal meyakinkan kependukung mereka dengan bantuan cheerleader atau buzzernya.
Bahwa pihak oposisi atau aktivis demokrasi berusaha merenggut kenyamanan yang telah dimiliki. Setelah itu, penguasa tinggal menyaksikan para pendukung dan pembecinya saling serang, saling ancam dan hal ini tentu sudah lazim kita saksikan belakangan. Tidak heran apabila Ben Anderson menyebut. Mekanisme politik seperti ini sebagai elektoralisme burjuis. alih-alih demokrasi.
Hak untuk bebas memilih dan dipilih dalam pemilihan umum hanya salah satu dari sekian banyak hak yang harus dipenuhi. Tetapi pemenuhan dan demokratisasi pada kesejahteraan dan kemakmuran adalah alasan kita memilih sistem demokrasi. Sebab demokrasi yang hakiki tidak sekedar keyakinan yang berbuah kesepakatan untuk membagi-bagi kekuasaan di tingkat elit. Demokrasi juga harus memberikan hak kepada setiap individu warga negara untuk menentukan masa depan bangsa dan nasibnya sendiri. Namun demokrasi yang ada sekarang dengan sendirinya hanya memanjakan para elit politik sehingga rakyat belum merasakan dampak dari demokrasi secara signifikan.
Sejalan dengan Dengan itu, dalam studi Demokratisasi Lintas Negara yang dilakukan oleh Ansel dan Samuel yang diterbitkan pada tahun 2014, studi itu menunjukkan perubahan politik dari otoritarianisme ke demokrasi lebih dipengaruhi oleh pilihan kelas menengah atas yang semakin berkembang jumlahnya karena pertumbuhan ekonomi. Kelas menengah atas ini semakin tidak nyaman dengan kekuasaan elit otoritarian dan menghendaki sistem politik yang dapat melakukan check and balance atau pemeriksaan dan penyeimbangan agar kekuasaan negara dapat mencegah penguasa dalam pengambil alih. ...kalian properti secara sewenang-wenang.
Tidak heran, bagi Ansel dan Samuel, berdirinya rezim demokratis......tidak dengan sendirinya menjamin kestaraan dan kesejahteraan......sebagai mana yang sering digemakkan oleh para pendukung demokrasi itu sendiri. Untuk itu, sekadar mendorong rezim demokrasi untuk bertindak demokratis......adalah kesiasiaan karena demokrasi itu sendiri dapat beroperasi secara tidak demokratis......mengingat alasan keberadannya untuk melindungi kepentingan elit. Dengan kata lain, demokrasi tidak dengan sendirinya demokratis. Menghubungkan demokrasi dan kesejahteraan berarti membuka keran atau jalur partisipasi sosial kepada masyarakat sipil yang berdaya, untuk mengawasi dan melibatkan diri dalam proses politik agar demokrasi kian bermakna.
Perluasan arena sipil sebagai subjek demokrasi memungkinkan politik wargaan tumbuh mengisi demokrasi. Bagaimanapun, di mana stagnanisasi demokrasi karena jebakan elitisasi dan oligarki, serta tercemarnya ekologi sosial yang terjadi, politik emansipasi demokrasi dengan memperkuat kembali masyarakat sipil menjadi jalan alam. Alternatif, politik, tidak semata urusan parpol dan pemilu.
Everyday life politik atau politik kesehatian menjadi arena persamaan demokratisasi yang didalamnya nilai, sikap, dan interaksi serta artikulasi kepentingan berproses dan bekerja. Problem struktural seperti kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan memang masih menjadi beban di setiap negara-negara dunia ketiga. Hal-hal ini menjadi akar masalah dari komplikasi praktik kehidupan di level tata kekuasaan politik dan ekonomi, hukum, dan bermasyarakat.
Sekalipun pembangunan dan agenda kebijakan sosial terus-menerus diupayakan ibarat membangun istana pasir, gelombang pasang tidak terkendali meruntuhkan bangunan, roboh diterpa dalam sekejap. Apalagi situasi semacam ini cenderung dibenturkan dengan penyelenggaraan demokrasi semu yang ditafsirkan seolah demokrasi tapi tidak mensejahterahkan rakyat. Dalam evaluasinya terhadap hubungan antara demokratisasi dan kestaraan, Hagar dan Kaufman dalam bukunya yang berjudul Development, Democracy and Welfare States, mencatat bahwa demokratisasi yang berujung pada kestaraan lebih merupakan hasil dari aksi kolektif yang muncul dari kelas bawah.
Ketika kelas bawah mampu menjadi kekuatan terorganisir yang mengancam posisi politik para elit kelas atas, demokrasi yang dihasilkan lebih mampu untuk menjamin kestaraan dan kesejahteraan umum. Namun, kita harus-harus sadar bahwa pencapaian kestaraan dalam politik demokrasi bukanlah kondisi alamiah dari demokrasi itu sendiri. Masalahnya kemudian, Kondisi yang memungkinkan aksi kolektif kelas bawah ini bukanlah kondisi yang umum bagi demokrasi itu sendiri. Oleh karenanya, kita tak perlu kaget ketika demokrasi berlaku tanpa adanya aksi kolektif kelas bawah, atau biasa disebut pula sebagai perjuangan kelas. Demokrasi tetaplah akan menjadi demokrasi.
Suatu sistem politik yang berkepentingan untuk mengoreksi penguasa sejauh untuk mengamankan kepemilikan pribadi para elit menengah atas. Melalui aturan main terciptalah kompetisi politik yang semu, di mana partai politik tersebut, tetap berkuasa sekaligus jadi penentu. Partai serupa dengan perusahaan yang menjalankan politik dengan cara jual-beli. Tiap dukungan ada uang maharnya dan keputusan ditentukan oleh para ketua. Serupa dengan komplotan, partai telah jadi pintu bagi siapapun yang mau duduk di posisi utama.
Bahkan partai menjelma jadi kekuatan inti penentu masa depan perubahan. Maka, seperti ember raksasa, partai menampung siapapun dan siapa saja yang ingin menjabat, berpengaruh, dan punya peran. Faktor yang membuat partai politik gampang.
gampang sekali ricuh, pecah, dan diancam oleh masalah. Hasilnya tampak pada pengurusan partai yang campur baur dengan keanggotaan yang mengejutkan. Ada aktivis, ada selebritis, dan orbais. Bisa anggota partai satu pindah begitu cepat ke partai lain, serupa mobil. Pilihan aktif ke partai ditimbang dari sejauh mana kecepatan partai mengantar pada kursi kekuasaan.
Hal ini bisa kita lihat dari perpolitikan kita sekarang. Kebanyakan penguasa yang kini menempati posisi strategis di berbagai institusi publik, hingga partai politik rata-rata adalah petarung lama. Tidak ada yang baru sama sekali. Andai kan ada wajah-wajah baru itu, pasti lahir dari golongan yang memang sudah berkuasa. Dan itu pasti sana keluarga dan petarung lama.
Para pemimpinan elit partai, penguasa media mainstream, para pejabat pemerintah yang berada di jajaran kabinet sekarang, sampai pada seluruh jabatan strategis lainnya di dalam birokrasi pemerintahan saat ini, hanyalah sirkulasi elit-elit lama yang selalu berotasi di dalam lingkar kekuasaan oligarki. oligarki oligarki sendiri sebagai suatu aliansi cair yang menghubungkan kepentingan para konglomerat selalu lihai dalam beradaptasi dengan sistem apapun baik otoritarianisme maupun demokrasi tapi di luar itu semua bentuk-bentuk pemerintahan memiliki berbagai kelebihan dan kekurangannya monarki di beberapa negara Arab terbukti berhasil memakmurkan rakyatnya meski mengekang kebebasan berpendapat rakyatnya sementara negara-negara timur lainnya yang dipaksa demokrasi seperti Libya, Mesir, Irak, Yemen, dan Afganistan misalnya misalnya justru mengalami kritis politik dan carut-marut keamanan serta kesejahteraan. Oligark teknokrasi yang hanya dipimpin oleh segelintir orang di bawah naungan Partai Komunis Tiongkok pun berhasil menjadikan kekuatan baru dunia di abad 21. Kesuksesan ini pun berhasil China raih karena China dengan sistem oligark teknokrasinya mampu membuat visi jangka panjang yang jelas untuk capaian target negaranya dan selain itu, China benar-benar menempatkan orang-orang yang kompeten untuk mencapai visi dan membenahi masalah masyarakat.
masalah negaranya. Namun negatifnya, rakyatnya tidak banyak leluasa untuk menentukan hidup dan kebebasannya. Namun, dengan segala kritik dan peringatan para filsuf, mengapa demokrasi tetap menjadi pilihan banyak negara?
Mengapa banyak masyarakat di dunia berusaha memperjuangkan demokrasi meski tantangannya begitu besar? Kita tentu masih ingat bagaimana rakyat Mesir berjibaku turun ke jalan berminggu-minggu demi meraih demokrasi. Meskipun sejarah menelantarkan mereka pada kegagalan.
Kita juga masih ingat pengalaman kita sendiri, menjatuhkan Soeharto, mereformasi sistem, dan berusaha payah merawatnya. Dan apa sekarang kita sedang mengulang sejarah kita yang kelam dan masuk ke labirin paradoks demokrasi? Dengan perjuangan yang luar biasa itu, setiap kritik terhadap demokrasi, karena itu menjadi pejal tak mudah diterima.
Setiap kritik akan direspon secara keras dan dianggap sebagai antek diktator, anti rakyat, atau apalah namanya yang bisa membojokkan sang pengkritik. Tetapi bagaimana kalau kritik itu sebenarnya? Sebenarnya membangun bagaimana kalau kritik terhadap demokrasi dibangun berdasarkan niat tulus untuk memperbaikinya Bagaimana kalau kritik itu didasarkan pada kenyataan bahwa demokrasi telah melahirkan pemimpin yang korup Pejabat yang payah, kepala daerah yang tidak disiplin, serta politis yang intoleran Lagi pula untuk mengejar perubahan menuju masyarakat yang demokratis Harus dimulai dengan keterbukaan terhadap realitas kebebrokan negara dan sistem sosial kita Tanpa keterbukaan tersebut tidak akan ada upaya Untuk memperbaiki apa yang harus diperbaiki jika tidak ada yang rusak