Hai yang paling saya takutin ini kalau misalnya masuk lubang tambang ada komunitas waktu-waktu ini tambangnya bisa aja Amruk hai hai Kang Piro sendiri takut gak sih Kang masuk-masuk lubang kayak gini? Tadinya takut sih, pertama kali cari uang susah, terus gimana lagi? Perjalanan Indonesia Gu kali ini menyorot kehidupan masyarakat di sebuah desa kecil yang terletak di ujung barat Provinsi Banten.
Sebagian besar masyarakat di desa Mangkualam, Kecamatan Cimbanggu, Kabupaten Pandeglang, bekerja sebagai penambang emas. Meskipun hampir setiap rumah memiliki mesin gelondong emas, pemukiman warga bisa dibilang masih sederhana, bahkan masuk kategori tradisional. Ini karena hasil menambang yang pas-pasan.
Beberapa bulan terakhir, emas yang didapat bahkan mengalami penurunan. Kali ini saya coba mengikuti sebagian kelompok penambang pekerja. Selain jalan berlubang, jalur tanah juga menyambut kami. Setengah jam perjalanan akhirnya mengantarkan kami sampai ke lokasi. Tenda-tenda lubang emas milik warga memenuhi kawasan tambang.
Areal tambang lebih dari 10 hektare ini memiliki cadangan emas yang diperkirakan mencapai 1,5 juta wet metric ton. Sudah lebih dari 8 tahun warga menyandarkan hidup pada hasil emas di Cimanggu. Umumnya ada sebanyak 10 sampai 20 orang yang bekerja dalam satu lubang tambang. Sebelum masuk, peralatan seperti palu dan lingkis pun dipersiapkan terlebih dahulu.
Namun tak ada perlengkapan keselamatan yang mereka gunakan selain headlamp atau senter kepala. Setelah siap, kami segera masuk ke dalam lubang tambang. Biasanya salah satu hasil kain alam yang dimanfaatkan masyarakat di Kecamatan Cimanggu, Provinsi Banten adalah hasil mineral berupa emas. Dan tambang tradisional di sini bahkan sudah berjalan lebih dari 8 tahun. Dan kita akan lihat bagaimana masyarakat harus mempertaruhkan nyawa mereka di dalam lubang tambang untuk mendapatkan bongkahan biji emas.
Ini langsung masuk aja ya Kang ya? Oke siap. Beberapa penambang lain sudah masuk lebih dulu. Kali ini saya ditemani Birun menuju dasar tambang tempatnya bekerja. Saya pun mulai turun perlahan-lahan.
Jarak antar pijakan yang cukup jauh dan licin membuat saya harus ekstra hati-hati. Salah pijak resikonya terjatuh hingga kedalaman puluhan meter. Masih berapa meter lagi kan? Cahaya dari atas perlahan tak lagi terlihat. Saya pun mulai panik.
Gelapnya lorong menuju tambang membuat saya kesulitan melihat. Ini dalamnya sampai 100 meter, ini kita baru udah 10 meter tapi udah perasa banget pengalapnya sempit. Dan ini pinjakannya juga jarang-jarang jadi harus hati-hati banget buat turun ke bawah. Semakin mendekati dasar turunan pertama, pijakan pun semakin licin. Selain kaki, kekuatan tangan juga harus diandalkan untuk bisa menahan badan.
Kami tiba di kedalaman 50 meter di bawah permukaan tanah. Jadi, dalam ini ada dua selang. Yang satu tuh kayak gini untuk ngomong sama orang-orang yang di atas. Dan yang satu lagi nih buat blower untuk udara di dalam.
Dan ini ternyata udah nyampe bawah. Tambangnya ini tergeneng. Ada kali air setengah meter ya, Kang ya. Dan kita harus lanjut lagi masuk ke dalam.
Nggak kelihatan ini, agak ngeri juga sebenarnya. Oke. Ntar ya, Kang. Ini klipon aman ya. Terima kasih.
Jalur menurun pertama, kami harus melewati sebuah lorong yang tergenang air. Jalur tambang yang cukup sempit, membuat kami harus berjalan jongkok. Badan saya pun ikut rendam. Untungnya, setelah sampai di ujung lorong, genangan air mulai berkurang. Hai ini aman ya Kang ya Astaga yang terbawa sudah basah huyuk dan yang diatas juga nggak tahu apa yang terjadi di bawah sini juga nggak tahu apa terjadi di atas semoga tapi aman di hampa ya Di dalam tambang kami seakan terpisah dari dunia luar.
Lorong sempit dan gelap inilah yang menjadi tempat para penambang bekerja setiap hari. Jalur yang dibuat tanpa perhitungan yang akurat, membuat saya hanya bisa berharap akan keluar dari lubang tambang dengan selamat. Jenis tanah yang bertekstur lunak membuat tambang lebih rawan longsor. Para penambang menahan tanah dengan memasang papan kayu di dinding dan atap goa. Yang paling saya takutin ini kalau masuk lubang tambang adalah kalau misalnya suatu waktu ini tambangnya bisa aja ambruk.
Yang bayangin ini adalah resiko yang setiap hari harus dihadapi para penambang di sini. Setiap penambang biasanya memiliki titik kerjanya masing-masing. Masih ada satu lagi turunan yang harus kami lewati untuk sampai di dasar.
Jalurnya cukup sempit. Celah lubang hanya bisa dilalui satu orang. Saya pun harus kembali mencari pijakan dengan sangat hati-hati.
Sudut tambang kecil inilah yang menjadi tempat birun biasanya bekerja. Dinding tambang mulai dipukul untuk mendapatkan batuan yang menyimpan kandungan emas. Suara bising dari palu dan linggis menemani kegiatan para penambang selama berada di dalam lubang. Birun dan para penambang lainnya bekerja 6 hari dalam 1 minggu.
Mereka mulai masuk sekitar pukul 8 pagi, lalu keluar tambang pukul 4 sore. Namun di dalam tambang kami tak lagi bisa membedakan siang dan malam. Hasil batuan dikumpulkan ke dalam karung.
Jumlah karung yang bisa didapatkan setiap harinya tidak menentu, tergantung kekuatan fisik para penambang. Jadi ini merupakan bangkang batu yang dicari sama para penambang. Cuma di sini secara kasat mata masih belum kelihatan karena masih harus diolah.
Jadi yang kelihatan ini cuma urapnya aja. Ada yang warna kuningan ataupun yang warna putih itu yang diikutin dan yang dipukul sama mereka supaya bisa dikumpulin nantinya. Bekerja di tambang tradisional memang beresiko.
Birun bahkan bercerita bahwa tambang di kecamatan Cimanggu sudah lebih dari tiga kali. memakan korban. Namun, kehadiran tambang emas seakan menjadi satu-satunya pilihan bagi Birun untuk bisa menafkahi kebutuhan keluarga. Bahaya keselamatan pun tak lagi diperhitungkan.
Kang Pirucudri takut gak sih kan masuk-masuk lubang kayak gini? Tadinya takut sih pertama kali. Ya sampai sekarang enggak.
Enggak gitu ya? Walaupun di sebelah tangga-tangga lubang lain ada yang ambruk gitu, tetap mau? Tetap mau kerja lah.
Cari uang susah, harus gimana lagi. Karung-karung yang sudah dipenuhi batuan kemudian ditarik menggunakan tali pengulur. Saya dan Birun pun mulai berjalan kembali ke permukaan. Kami harus melewati jalur yang sama. Dan lagi-lagi, lorong yang tergenang air menjadi rintangan yang cukup menyelitkan saya untuk bisa melangkah.
Sebetulnya, para penambang terbiasa menggali di kedalaman tambang lebih dari 100 meter. Namun adanya aliran air dari dalam tanah membuat mereka tak lagi bisa mencari emas terlalu jauh dari permukaan. Sesudah melewati lorong, kami harus kembali memanjat sampai di atas.
Pakaian dan sepatu yang basah serta penuh lumpur membuat setiap pijakan lebih licin dari sebelumnya. Usaha untuk bisa naik ternyata jauh lebih sulit dibandingkan saat turun. Di pertengahan jalan, saya hampir tak lagi sanggup menahan beban.
Otot tangan dan kaki mulai kelalahan. Namun, dengan penuh perjuangan, saya terus memaksakan diri untuk bisa melanjutkan langkah kaki sampai kebijakan terakhir. Cahaya dari luar mulai terlihat, dan akhirnya kami tiba di permukaan dengan selamat. Saya pun bisa kembali bernafas lega.